Monday, June 8, 2020

Perumpamaan Biji Sesawi


by Mekar Andaryani Pradipta

Setelah kita belajar tentang perumpamaan penabur di minggu lalu, kali ini kita akan membahas tentang perumpamaan biji sesawi.

“Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
(Matius 13:31-32)

Kalau perumpamaan tentang penabur menitikberatkan pada tanah tempat benih ditanam, maka fokus perumpamaan biji sesawi adalah tentang benih yang ditanam. Apa yang bisa kita pelajari dari perumpamaan biji sesawi?
1. Benih menggambarkan tentang Kerajaan Sorga
sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
(Roma 14:17)

Dalam ayat pendek ini, Paulus sebenarnya menegaskan bahwa hidup yang dikendalikan oleh daging (dilambangkan oleh makanan dan minuman) berbeda dari hidup yang dikendalikan oleh Roh (hidup yang berdasarkan pada kebenaran, ditandai oleh damai sejahtera dan sukacita). Namun bukan berarti kebenaran itu berasal dari banyak “jalan”. Hal ini diungkapkan oleh Charles H. Spurgeon, “Alkitab tidak menulis kebenaran sebagai “truths” (kata benda jamak), melainkan “truth” (kata benda tunggal), karena memang hanya ada satu kebenaran yaitu kebenaran Allah.”

Jika demikian, dari mana kita bisa mengetahui kebenaran ini?

Pada mulanya adalah Firman; 
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
(Yohanes 1:1)

Tidak ada tempat lain dimana kita bisa belajar mengenai kebenaran Allah—selain Firman-Nya—karena Firman Tuhan itu adalah Allah sendiri.

Menurut Spurgeon, kebenaran Allah seperti mata rantai, jika kita tidak percaya pada satu hal, maka itu berarti kita tidak percaya juga pada hal yang lain. Oleh karena itu, kita tidak bisa tebang pilih dalam mengimani Firman Tuhan, karena kebenaran di dalamnya adalah satu. Namun kita harus mengingat bahwa logika kita terbatas untuk memahami Firman-Nya. Itulah sebabnya kita tidak boleh asal menafsirkan dan memasukkannya sesuai dengan pengetahuan dan konteks diri sendiri (istilah kerennya, eisegesis). Padahal sering kali, apa yang tertulis di Alkitab justru memilki makna yang lebih dalam daripada yang hanya tampak melalui tulisannya secara harfiah. Dengan demikian, kita perlu menyadari keterbatasan untuk menyelami Firman Allah dan memohon hikmat-Nya untuk benar-benar memahami dan melakukan apa yang disampaikan-Nya.

2. Kebenaran Firman Tuhan adalah benih yang berharga
Sama seperti perumpamaan tentang penabur, perumpamaan biji sesawi juga menggambarkan tentang benih—alias kebenaran Firman Tuhan—yang ditaburkan. Pada perumpamaan ini, Yesus mengajar kita bahwa kebenaran Firman Tuhan seperti biji sesawi: kecil tapi tidak seharusnya dipandang remeh atau disia-siakan. Disadari atau tidak, sesederhana apapun itu, Firman-Nya sangat berharga untuk dilupakan begitu saja.

Di sisi lain, kadang-kadang ada keraguan untuk memenuhi hati dengan Firman (misalnya dengan membaca Firman Tuhan, menghafal ayat, atau menonton penjelasan tentang Alkitab). Bukannya langsung paham, kita justru semakin bingung dan merasa tampaknya sia-sia untuk mempelajari Firman-Nya. Apalagi jika orang-orang di sekitar kita berkata, “Untuk apa? Kamu mau jadi pendeta? Jangan sok suci, lah!” Tapi Yesus menguatkan kita, karena—seperti benih—Firman Tuhan yang kita tanam saat ini punya nilai untuk masa yang akan datang. Dia menginginkan hati kita yang teachable, hati yang mau diajar dan diasah agar menjadi semakin serupa dengan Kristus—meskipun prosesnya berbeda antara satu orang dengan yang lain. Siapa tahu, pengalaman dalam melalui masa pandemi ini (misalnya) membuat iman kita berakar lebih kuat di dalam-Nya, bahkan menjadi berkat bagi orang lain.

3. Apabila sudah tumbuh…
Kuncinya adalah pertumbuhan, dan pertumbuhan membutuhkan ketekunan.

Biji sesawi yang dimaksud dalam perumpamaan ini adalah mustard seed. Walaupun sangat kecil, namun biji ini bisa tumbuh menjadi pohon—yang kemudian menghasilkan biji-biji lain dalam jumlah yang berlipat kali ganda.

Yesus juga memakai biji sesawi untuk menggambarkan tentang iman,

“Jika kamu memiliki iman sebesar biji sesawi, kamu dapat memindahkan gunung”
(Matius 17:20)

Menarik sekali, karena dalam Roma 10:17 dikatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Seperti apa yang disampaikan oleh Paulus dalam ayat tersebut, Tuhan juga menghendaki benih firman yang ditabur di hati kita tumbuh menjadi iman. Namun menariknya, Dia adalah Allah yang menghargai setiap kemajuan pertumbuhan kita. Pertumbuhan iman sekecil apapun, Ia apresiasi—bahkan Ia katakan sanggup memindahkan gunung. Well, tentu ini merupakan hiperbola, tapi yang dimaksudkan Yesus adalah apa yang kelihatannya tidak mungkin, bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya.

Ketika membaca tentang raksasa-raksasa iman dalam dunia Kekristenan, mungkin kita bertanya-tanya, “Apakah kita bisa seperti mereka?” Tidak jarang, kita justru merasa iman kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka sehingga kita berkata, “Ah, sepertinya tidak.” Setelah itu, kita merasa apa yang kita lakukan selama ini sia-sia. Padahal di mata Tuhan, tidak ada sekecil apapun upaya kita menumbuhkan benih sia-sia. Lagipula, serajin-rajinnya kita berinteraksi dengan Firman Tuhan, hanya Dialah yang memberikan pertumbuhan itu (1 Korintus 3:7-8). Bahkan, di perumpamaan tentang biji sesawi, Yesus belum membahas tentang multiplikasi; Dia baru berbicara tentang pohon yang membuat “burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.” Sesederhana apapun dampak yang kita hasilkan dari pertumbuhan iman kita, Tuhan memperhitungkan itu semua.

Pearlians, di dalam Tuhan, tidak ada yang sia-sia. Di sepanjang Alkitab, Tuhan sering sekali memilih apa yang dianggap kecil dan tidak berharga bagi manusia, namun dipakai untuk kemuliaannya. Sebut saja: kota Betlehem yang kecil Ia pilih sebagai tempat kelahiran Yesus, atau bekal anak kecil Ia pakai untuk membuat mujizat. Oleh karena itu, dalam hari-hari yang sedang dan akan kita jalani (dengan berbagai adaptasi yang harus dilakukan), mari kita juga belajar untuk setia dan tekun dalam kebenaran. Meskipun pertumbuhan iman yang dialami seakan tidak ada artinya, namun Tuhan menghargainya dan ingin agar kita terus memeliharanya… hingga akhirnya iman kita berdampak sesuai dengan yang Tuhan kehendaki.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^