Monday, August 19, 2019

Tamar: Lebih Besar Dari Hidupmu


by Glory Ekasari

Kisah hidup Tamar sungguh unik. Tidak banyak yang kita ketahui tentang dia selain cerita singkat dari Kejadian pasal 38, tapi kalau Pearlians penggemar drama Korea, kisah hidup Tamar ini sepertinya lebih makjang dari semua drama yang pernah kalian lihat. Very, very scandalous.

Kisahnya diawali dengan pernikahan Yehuda (kemungkinan besar di usia yang masih sangat muda) dengan seorang wanita Kanaan. Dari pernikahan itu, dia memiliki tiga orang anak: Er, Onan, dan Syela. Ketika Er sudah agak besar, Yehuda mengawinkannya dengan seorang wanita Kanaan bernama Tamar. Tetapi ternyata Er ini jahat di mata Tuhan, sehingga Tuhan membunuh dia (jangan bayangkan Er mati mendadak tanpa sebab, ya; mungkin dia seorang pembuat onar yang berandalan dan akhirnya mati terbunuh dalam pertikaian—orang Timur Tengah dan orang Yahudi tidak akan segan berkata, “Tuhan membunuh dia,” kalau orang seperti itu kena bencana). Menurut adat pada waktu itu, adik Er yang bernama Onan harus mengawini Tamar (kakak iparnya) dan memberi keturunan baginya—sehingga anak itu akan dianggap anak dari Er. Tetapi Onan keberatan dengan kewajiban itu dan sengaja “setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang” (Kejadian 38:9). Lagi-lagi apa yang dilakukan Onan itu jahat di mata Tuhan, sehingga ia juga dibunuh oleh Tuhan.

Yehuda melihat apa yang terjadi kepada dua anaknya yang tertua, sehingga ia merasa takut. Ia tidak buru-buru menikahkan anaknya yang ketiga, Syela, dengan Tamar karena anak itu belum cukup umur—lalu Yehuda menyuruh Tamar kembali ke rumah ayahnya dan menunggu sampai Syela cukup umur. Namun beberapa tahun kemudian, setelah Syela sudah bertambah usia, Tamar melihat bahwa mertuanya tidak berniat menikahkan dia dengan Syela (kemungkinan besar karena takut Syela ikut mati juga). Oleh karena itu, Tamar menyadari dirinya dicurangi, dan dia berniat mencari keadilan sendiri.

Ketika Tamar mendengar bahwa istri Yehuda telah mati, dia memikirkan sebuah rencana:

Tidak ada isteri = tidak ada hubungan seks = tidak ada pemenuhan kebutuhan biologis bagi Yehuda.

Di samping itu, Yehuda datang ke Timna untuk pesta pengguntingan bulu domba, dan suasana pesta akan membuat pikirannya tidak jernih. Mengetahui hal itu, Tamar berdandan seperti seorang pelacur kuil dengan kerudung dan cadar (sehingga wajahnya tidak terlihat), lalu duduk di pintu gerbang kota—di mana para pelacur biasanya duduk. Ternyata Yehuda tidak mengenalinya, sehingga dia segera “menawar” Tamar. Tapi karena Yehuda tidak membawa seekor anak kambing (sebagai alat pembayaran yang dijanjikannya), Tamar meminta jaminan berupa cap meterai (berupa cincin atau bandul kalung dengan nama Yehuda) dan tongkatnya. Mereka berhubungan seksual, dan akibatnya Tamar hamil.

Tidak lama kemudian, Yehuda mendengar bahwa menantunya hamil. Hamil dari siapa, sedangkan ia tidak bersuami? Tentulah dia berzinah dengan pria lain! Menurut adat mereka, wanita seperti itu harus dibakar. Tetapi alangkah kagetnya Yehuda (dan alangkah malunya dia!) ketika Tamar menunjukkan cap meterai dan tongkatnya serta berkata, “Dari pria yang empunya barang-barang inilah aku mengandung.” Yehuda menyadari bahwa menantunya, yang tadinya akan ditipunya, ternyata telah balik menipunya. Dari Tamar, Yehuda memiliki dua anak kembar: Peres dan Zerah. Dan dari keturunan Peres lahirlah Yesus Kristus.

Untuk memahami cerita ini, ada hal penting yang kita ketahui. Tamar adalah seorang wanita Kanaan. Pada saat itu belum ada bangsa Israel, belum ada hukum Musa (Musa belum lahir), dan semua bangsa bertindak sesuai adat dan norma-norma mereka sendiri. Tamar dibesarkan dengan norma-norma yang sangat berbeda dengan bangsa Israel di kemudian hari. Apa yang dilakukan Tamar mungkin outrageous, tidak terbayangkan bagi kita yang hidup di masa sekarang. Namun Tamar nekat melakukan itu, sekalipun hal itu bertentangan dengan gaya hidupnya (dia terus mengenakan pakaian janda setelah Onan mati [Kejadian 38:14] dan segera pergi setelah berhubungan seksual dengan Yehuda [ayat 19], yang menunjukkan bahwa ia memelihara martabatnya sebagai seorang janda). Ada alasan yang mendasari tindakan Tamar. Alasan apa?

Bagi orang Timur Tengah pada masa itu, dan bahkan bagi orang Asia sampai hari ini, anak adalah buah pernikahan yang sangat diidam-idamkan. Wanita yang tidak punya anak dianggap sebagai orang yang “direndahkan” oleh Tuhan. Ini adalah tekanan sosial yang luar biasa bagi seorang wanita. Itu sebabnya, ketika Elisabet hamil di usia tuanya, ia berkata, “Sekarang Tuhan berkenan menghapuskan aibku di depan orang” (Lukas 1:25). Tamar tidak memiliki anak bukan karena mandul, tetapi karena dua suaminya jahat di mata Tuhan sehingga mereka mati. Sebagai wanita yang hidup di masa itu, Tamar bertekad bahwa dia harus punya anak sebagai tanda bahwa Tuhan tidak merendahkannya. Bukannya mencari pria lain untuk memberinya anak, ia “mendapatkan” anak dari mertuanya, yang masih punya ikatan perjanjian dengan dia.

--**--

Pusing kan, baca ceritanya? Lebih pusing lagi kalau hal seperti ini terjadi dalam keluarga kita! (Amit-amiiit…) Tapi nyatanya, ini semua terjadi dalam garis keluarga Tuhan Yesus! Mengapa peristiwa yang begitu memalukan ini dimuat dalam Alkitab, bahkan berkaitan dengan Tuhan kita? Bukankah lebih baik jika garis keturunan Tuhan Yesus senantiasa bersih dan bermoral tinggi sesuai moto “bibit, bebet, bobot”? 

Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari kisah Yehuda dan Tamar: 
1) Tuhan memakai orang-orang yang tidak sempurna untuk menggenapi rencana-Nya yang sempurna. 
Yehuda dan Tamar adalah orang-orang yang tidak sempurna, gegabah, dan melanggar moral dalam perbuatan mereka. Bisa dibilang, mereka mengacaukan hidup mereka sendiri. Kalau kita jadi Yakub (bapaknya Yehuda), mungkin kita cuma bisa ngelus dada dan menangis, “Ya Gusti, kenapa keluargaku seperti ini??” Tapi ternyata semua keputusan yang bodoh, semua peristiwa yang tidak enak, bahkan semua dosa yang dilakukan dalam hidup mereka, menggiring mereka untuk menggenapi rencana Tuhan.

Seringkali kita berpikir bahwa rencana Allah terbatas pada sekarang, dan penggenapan rencana Allah bergantung pada apa yang kita lakukan dengan benar. Kalau kita membaca firman Tuhan, kita akan menyadari bahwa ini adalah sebuah pemikiran yang sempit. Tuhan itu jauh lebih besar dari sekarang-nya kita, dan Dia jauh lebih berkuasa dibanding semua kesalahan yang kita buat untuk “mengacaukan rencana-Nya”. Pikirkan hal-hal ini:

Ketika Tuhan berkata kepada Hawa bahwa, “Keturunan ular akan meremukkan kepalamu, dan engkau (keturunanmu) akan meremukkan tumitnya” (Kejadian 3:15), Tuhan berbicara kepada seorang wanita yang telah membuat kesalahan fatal yang menyeret entah berapa banyak manusia ke dalam dosa.

Ketika Tuhan berkata kepada Daud, “Aku akan membangkitkan . . . anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya” (2 Samuel 7:12), yang Tuhan maksud adalah Salomo, yang akan lahir dari Batsyeba, wanita yang akan direbut Daud dari Uria!

Ketika Tuhan berkata kepada Petrus, “Jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:32), Dia berbicara kepada murid yang akan menyangkal Dia dalam waktu beberapa jam kemudian!

… dan entah berapa banyak lagi contoh lain dalam Alkitab.

Bagaimana mungkin Tuhan, yang sudah tahu kesalahan yang akan dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, tetap memilih dan melibatkan mereka dalam rencana-Nya? Salah satu jawabannya, Tuhan tidak mencari orang yang sempurna; Dia memakai orang biasa untuk menggenapi tujuan yang luar biasa. Dan itu berarti melibatkan kelemahan dan kesalahan mereka. Semua ini menunjukkan hikmat Tuhan dan kuasa-Nya yang luar biasa, sehingga kita bisa berkata bersama Paulus, 

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!
(Roma 11:33)

2) Hidup kita bukanlah yang terpenting dan bukan tujuan akhir; ada tujuan yang lebih besar dari hidup kita, yaitu kemuliaan Allah. 
Seringkali kita keliru memahami pekerjaan Tuhan dalam hidup kita. Kita berpikir bahwa kita adalah pusat dari rencana Tuhan; yang Tuhan urus adalah semua tentang kita: pekerjaan kita, jodoh kita, keluarga kita, masalah kita, dst. Kekristenan yang berpusat pada manusia seperti ini tidak alkitabiah, bahkan menyesatkan dan membawa kepada kekecewaan.

Tamar, entah disadarinya atau tidak, tidak hidup untuk dirinya sendiri—ia hidup untuk menggenapi rencana Allah. Tidak ada seorangpun dari kita yang hidup untuk diri kita sendiri; semua kita hidup untuk melayani Allah dan memenuhi kehendak-Nya. Semua yang terjadi dalam hidup kita, semua yang kita lakukan, semua yang kita alami, membawa kita mendekat pada penggenapan rencana Allah. Sama seperti sebuah mikrofon tidak eksis untuk dirinya sendiri—melainkan mendukung seorang penyanyi (hal yang sama dengan lampu sorot, sound system, dekorasi, dll)—eksistensi kita juga merupakan pendukung untuk rencana Allah yang luar biasa besar.

Apa ini berarti hidup kita tidak berarti? Justru sebaliknya, karena kita adalah bagian dari rencana-Nya, kita penting bagi Tuhan! Karena hidup kita menggenapi rencana-Nya, tidak ada satu hal pun dalam hidup kita yang berada di luar perhatian Tuhan. Bagi bangsa Kanaan, Tamar adalah seorang wanita biasa; tetapi di mata Tuhan, ia adalah bagian dari rencana keselamatan yang besar. Hampir dua ribu tahun setelah hidupnya, nama Tamar masih diingat orang dan dicatat sebagai salah satu nenek moyang Juruselamat. Bagi orang lain kita mungkin orang biasa, tetapi bagi Tuhan kita adalah bagian penting dari rencana-Nya. Dan lewat hidup kita, Tuhan akan dikenal dan dimuliakan.

Betapa kita bersyukur karena Tuhan memilih kita, yang serba terbatas, untuk menjadi bagian dalam rencana-Nya yang agung. Setiap kali kita melihat diri kita sendiri, marilah kita ingat kebenaran yang indah ini:
“Saya adalah bagian dari rencana Allah yang jauh lebih besar daripada hidup saya, sekalipun saya terbatas, lemah, dan punya banyak kesalahan. Tuhan memperhatikan hidup saya, karena saya penting di mata-Nya.”

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^