Thursday, April 28, 2016

Telur atau Kentang

by Glory Ekasari

Beberapa pembaca pasti pernah dengar tentang kasus telur dan kentang. Telur yang awalnya encer, kalau direbus, jadi keras. Sebaliknya, kentang yang tadinya keras, bila direbus jadi lembut. Metafor ini sering dipakai untuk menjelaskan dua macam orang. Tipe pertama adalah tipe telur: orang yang malah jadi keras hatinya setelah melewati masalah. Tipe kedua adalah tipe kentang: orang yang jadi lembut hatinya setelah melewati masalah.
PicMonkey Collage

Dalam hidup pengikut Kristus, kadang kita berbuat salah dan – seperti sewajarnya anak yang berbuat salah – mendapat disiplin dari Tuhan. Kalau orang tua di dunia aja tau bahwa anak harus didisiplin supaya setelah besar dia jadi orang yang baik, apalagi Tuhan. Jadi pendisiplinan terhadap anak yang bersalah adalah hal yang biasa dilakukan Tuhan. Alkitab kita mencatat orang-orang yang mengalami pendisiplinan dari Tuhan, tapi dengan respon yang berbeda-beda. Yang pertama adalah golongan telur, dan yang kedua adalah golongan kentang.

Semakin keras setelah didisiplin

Tokoh pertama yang termasuk golongan ini adalah Saul. Raja pertama Israel yang tinggi dan gagah ini (demikianlah disebut di Alkitab) mengalami pendisiplinan keras dari Tuhan ketika dia tidak menaati perintah Tuhan saat mengalahkan bangsa Amalek. Kesalahan Saul bukan penyimpangan moral, tapi Tuhan marah karena ini bukan pertama kalinya Saul seenaknya menjalankan perintah Tuhan. Dia menganggap penyimpangan itu bukan masalah besar.

Hukuman Tuhan atas Saul fatal: Tuhan mencopot dia dari jabatan raja. Secara de jure, Saul memang masih raja Israel, tapi Tuhan menarik Roh-Nya atas Saul dan dia jadi seperti raja bingung. Tapi bahkan setelah Tuhan menjatuhkan hukuman, Saul tidak memohon pengampunan dan tetap berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai raja. Ketika Tuhan memilih Daud untuk menggantikan dia, Saul berusaha mati-matian untuk membunuh Daud dan mempertahankan takhtanya. Usaha yang sia-sia, karena toh akhirnya Saul mati bunuh diri saat kekalahan pada orang Filistin sudah di depan mata.
Tokoh kedua – yang ternyata juga punya hubungan juga dengan Daud – adalah Salomo. Memulai pemerintahan sebagai raja yang diurapi Tuhan dengan kekayaan dan hikmat yang tersohor sampai ke Afrika, Salomo mengakhirnya dengan buruk. Ia ikut menyembah dewa-dewi para isterinya (yang jumlahnya ratusan) dan dengan demikian berkhianat kepada Tuhan yang telah memilihnya menjadi raja.

Hukuman Tuhan bagi Salomo adalah bahwa setelah ia mati, kerajaannya akan koyak menjadi dua bagian. Tuhan bahkan dengan tegas berkata bahwa Ia tidak memberi seluruh takhta Israel pada orang lain karena mempertimbangkan kesetiaan Daud, ayah Salomo – yang berarti tentunya Tuhan marah sekali pada Salomo. Tapi sekalipun demikian keras ditegur, Salomo tidak bertobat dan mohon pengampunan Tuhan; justru dia jadi marah dan berusaha membunuh Yerobeam, yang dinubuatkan akan menjadi raja sebagian besar suku Israel. Ironis sekali bahwa akhirnya justru anak Salomo sendiri yang mengambil keputusan bodoh yang menyebabkan Israel pecah menjadi dua kerajaan.

Bah, malah galakan dia.

Bah, malah galakan dia.
Kedua orang itu tidak menjadi lembut hati saat mereka didisiplin oleh Tuhan; sebaliknya, hati mereka semakin keras. Banyak orang seperti ini: gara-gara kesalahan mereka sendiri, mereka kena masalah; tapi setelah itu malah mereka marah-marah kepada Tuhan. Menurut mereka, Tuhan yang menyusahkan mereka, Tuhan yang bertanggung jawab atas masalah yang mereka hadapi, dan dengan segenap kemampuan mereka, mereka berusaha mencegah terjadinya kehendak Tuhan. Tentu saja sia-sia. Sampai matipun, Saul dan Salomo tidak bisa mencegah apa yang sudah Tuhan tentukan akan terjadi.

Semakin lembut setelah didisiplin

Mereka ini adalah orang-orang yang jadi rendah hati ketika menerima pendisiplinan dari Tuhan. Daftar orang-orang seperti ini tidak akan lengkap tanpa menyebutkan Daud. Bukan hanya sekali Daud dihajar oleh Tuhan karena berbuat kesalahan. Dan kesalahannya pun tidak biasa-biasa. Dia pernah berzinah dan membunuh, dan untuk itu Tuhan menghukum dia dengan mengambil anaknya yang baru lahir. Dia juga pernah menyombongkan diri atas banyaknya jumlah pasukannya; akibatnya, Tuhan menulahi orang Israel sehingga ribuan dari antara mereka tewas.

Tapi setiap kali Daud dihukum oleh Tuhan, ia serta merta merendahkan diri, memohon belas kasihan Tuhan, mengakui dosanya, dan menerima hukuman Tuhan dengan rendah hati. Dan Tuhan yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia itu selalu mengasihani dia. Bahkan Tuhan menyebutnya “Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku.”

Contoh yang kedua adalah Musa. Empat puluh tahun lamanya Musa memimpin orang Israel yang “tegar tengkuk” (bayangkan orang yang tengkuknya disabet pun tetap berkeras melakukan apa yang dia inginkan!) dan selalu menjadi sasaran keluhan dan rengekan mereka. Berkali-kali Musa memohon pada Tuhan agar jangan meluapkan murka-Nya atas orang Israel. Tidak heran Musa disebut “orang yang paling lembut hatinya di muka bumi.”

I'm sorry.

I’m sorry.
Tapi sekali waktu ketika Musa kehilangan kesabaran (katanya, kesabaran orang ada batasnya, ‘kan?), dia memukul ceruk batu dan bukannya berbicara pada ceruk itu sebagaimana yang diperintahkan Tuhan. Sepertinya bukan hal besar, ya? Tapi karena hal itu, Tuhan menghukum dia dan menyatakan bahwa dia tidak akan masuk ke tanah perjanjian. Apa?? Setelah 40 tahun mengurus bangsa yang begitu rewel di padang gurun?! Tapi herannya, Musa sama sekali tidak mengeluh. Dia sepertinya sadar apa yang membuat Tuhan marah dan menghukumnya. Menjelang kematiannya, Musa sempat “nego” Tuhan agar mengizinkan dia masuk ke tanah perjanjian, tapi sekali lagi Tuhan menolak. Dan Musa tidak rewel. Dia menaati keputusan Tuhan dan menemui ajalnya di gunung Nebo.

Jadi kita termasuk yang mana?

Alkitab suka menggambarkan Tuhan sebagai orang tua yang mengasihi kita. Kalau kita, anak-anak-Nya, berbuat salah, Dia akan mendisiplin kita – sebagaimana orang tua yang baik mendisiplin anaknya. Bagaimana respon kita setelah didisiplin, itu tanggung jawab kita. Banyak orang menyalahkan “didikan orang tua yang terlalu keras” waktu mereka kecil, yang “membuat” mereka jadi orang yang tidak baik saat mereka dewasa. Tapi ada juga yang berterima kasih karena orang tua mereka mendidik mereka dengan keras saat mereka muda, sehingga ketika mereka besar mereka menjadi orang yang bertanggung jawab.

Nah! Kita pilih sekarang, apakah kita mau semakin lembut setelah didisiplin, seperti Daud, Musa, dan pahlawan-pahlawan iman lainnya, atau kita mau mutung di tengah jalan seperti Saul dkk? Pilihan ada di tangan kita.

Monday, April 25, 2016

What do you have that you did not receive?

by Krisan Wijaya

Waktu masih duduk di bangku SD, ada salah seorang teman sekelasku yang terkenal kaya – ayahnya seorang pebisnis sukses – let’s call her Fela (no offense untuk kalian yang kebetulan bernama sama, ya ;). Dan karena SD tempatku bersekolah dulu mayoritas siswanya berasal dari golongan menengah, Fela terlihat menonjol.
Ia sering berganti-ganti tas sekolah, tempat pensil serta segala pernak-pernik alat tulisnya yang lucu-lucu (dan tampak mahal). Kalau zaman aku SD dulu smartphone sudah menjamur seperti sekarang, berani taruhan, pasti Fela yang akan memiliki smartphone termahal dan tercanggih. Dan setiap kali Fela membawa barang baru ke sekolah, ia akan berceloteh mengenai organizer (waktu itu lagi musim)/tempat pensil/tas barunya ke anak-anak yang lain sampai satu kelas tahu. Salah seorang temanku pernah nyeletuk, “Sombong banget ya si Fela. Hobinya pamer melulu – mentang-mentang kaya.”

Aku setuju dengan kalimat temanku – sikap pamer adalah bentuk kesombongan. But now, I realize that pride is more than just showing off your wealth. Lagi-lagi waktu SD, aku belajar bahwa sinonim dari kata ‘sombong’ adalah ‘tinggi hati’. Dan semakin usiaku bertambah, aku semakin mengerti bahwa sombong berarti meninggikan diri sendiri di atas segalanya – baik manusia, bahkan Tuhan! In a proud person’s head, there are only three words: ME, MYSELF, and I.

That’s why God really hates pride – exalting ourselves means looking down on others and God. Yakobus 4:6 dan 1 Petrus 5:5 dengan kompak mengatakan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Amsal 8:13 juga mengatakan hal senada, “...aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh dengan tipu muslihat.”

C.S. Lewis mengatakan dalam bukunya yang berjudul Mere Christianity:
According to Christian teachers, the essential vice, the utmost evil, is Pride. Unchastity, anger, greed, drunkenness, and all that, are mere flea bites in comparison: it was through Pride that the devil became the devil: Pride leads to every other vice: it is the complete anti-God state of mind… it is Pride which has been the chief cause of misery in every nation and every family since the world began.

Pernyataan di atas bukan murni pendapat Lewis – ia merangkum pemikiran para pemimpin Kristen dari masa ke masa, dari berbagai denominasi yang berbeda – mereka semua sependapat bahwa kesombongan adalah dosa yang berbahaya. Lewis sendiri menyebut kesombongan sebagai “the great sin”. Mengapa demikian? Jawabannya ada di buku manual kehidupan kita: Alkitab.

Kejatuhan Iblis (Yesaya 14:12-15). Kejatuhan Hawa (Kejadian 3). Kejatuhan Uzia (2 Tawarikh 26). Kejatuhan Haman (Ester 3-7). Apa persamaan dari empat kejatuhan tersebut? Satu kata: kesombongan! Iblis diturunkan ke dalam dunia orang mati karena ia hendak menyamai Allah. Hawa tergoda memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat karena ingin menjadi seperti Allah. Uzia menjadi tinggi hati setelah kerajaannya kuat, dan merasa berhak mempersembahkan ukupan langsung kepada Tuhan, padahal hanya imam keturunan Harun yang sudah dikuduskan yang berhak melakukannya. Hidup Haman berakhir di atas tiang gantungan karena kebenciannya terhadap Mordekhai akibat pria itu tidak mau berlutut menyembahnya.

Empat tokoh tersebut dalam kejatuhannya sama-sama tidak menjadikan Tuhan sebagai Tuhan yang berdaulat atas hidup mereka. Mereka sama-sama merasa berhak untuk menjadi lebih “tinggi”. When a person is exalted very HIGH, there is only one way he can go – DOWN!

“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12)

God hates pride, but he loves the opposite of pride: humility! Dan siapakah yang merupakan contoh sempurna sebuah kerendahan hati? Our Savior himself! Dalam salah satu suratnya, Paulus mendeskripsikannya sebagai Sosok yang tidak menganggap kesetaraan dengan Allah adalah sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:6-7). Dan kita tahu bahwa selama hidup-Nya di dunia, Ia menekankan pentingnya melayani, bukan dilayani. Kita tidak mungkin bisa melayani dengan benar bila tidak memiliki kerendahan hati.

Rendah hati tidak sama dengan rendah diri – menganggap diri sendiri tidak berharga. Humility means being comfortable with who you are in Christ – you are created, loved, and redeemed by God’s grace alone. Kita begitu berharga di mata-Nya! It increases our hunger for God’s word and opens our hearts to his Spirit. Rendah hati juga berarti menyadari bahwa kita membutuhkan – dan akan selalu membutuhkan – pertolongan Tuhan, menyadari bahwa kita tidak mungkin hidup dengan kekuatan sendiri. Dan tentu saja, isi kepala seseorang yang rendah hati tidak hanya tiga kata: ME, MYSELF, I – namun kepentingan orang lain juga.

“...dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filipi 2:4)

Mungkin kita tidak terang-terangan mengatakan ingin menjadi setara dengan Tuhan, atau tidak membutuhkan Tuhan dalam hidup kita – but that doesn’t mean we’re 100% free of pride. Pride can show in the most subtle ways: saat kita menghadapi kesulitan, apakah kita ingat untuk berdoa dan mengandalkan Tuhan? Atau malah kita dipenuhi kekuatiran dan berusaha mengatasi kesulitan itu sendirian? Saat kita berhasil melakukan sesuatu, apakah kita ingat untuk mengucap syukur pada Tuhan? Atau malah kita menganggap keberhasilan kita murni karena usaha kita sendiri?
Relying only on your own strength is also a form of pride, because you don’t put God as your God.

Semoga pesan Paulus untuk jemaat di Korintus ini bisa menjadi pengingat agar kita tidak jatuh dalam kesombongan:
 “What do you have that you did not receive? If then you received it, why do you boast as if you did not receive it?” (1 Cor. 4:7)

Monday, April 18, 2016

Humble of Christ

by Felisia Devi

Nah setelah kemarin mengulas tentang kesombongan, sekarang kita akan membicarakan lawan dari kesombongan, yaitu kerendahan hati. Dan pribadi yang layak kita pelajari tentang kerendahan hati adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri,
Yesus memang segalanya ya buat kita, Dia diutus bukan hanya menyelamatkan kita tapi juga memberikan teladan bagi kita semua.

Bayangkan Ia adalah Tuhan yang menguasai seluruh jagad raya ini, tapi bersedia menjadi manusia seperti ciptaanNya mengikut proses kelahiran dikandang domba dan dibesarkan dikeluarga Yusuf Maria yang sederhana, bukan keluarga golongan imam-imam, atau ahli taurat, bukan juga dari keluarga konglomerat.

Saat melakukan pelayananNya, Yesus pun tidak berpakaian 'bagus' dan harus difasilitasi. Dalam injil diceritakan Ia pernah kelelahan, lapar, haus dalam mengerjakan pelayananNya.
Ia juga bukan melakukan pelayananNya untuk menyenangkan banyak orang, tetapi untuk menyatakan kebenaran.

Ia juga mengajarkan para muridNya, yang terbesar hendaklah menjadi yang muda dan pemimpin sebagai pelayan (Lukas 22:26). Dan juga memberi teladan dengan Ia sendiri sebagai Tuhan membasuh kaki para muridNya (Yoh 13: 1-20).

Bukti kerendahan diriNya yang paling 'wah', Ia rela disamakan dengan ciptaanNya yang penuh dengan hal yang Ia benci yaitu dosa dan Dia harus mati karena menanggung dosa itu.
Kerendahan Kristus bukti bahwa Ia sangat mengasihi manusia.

Sempet timbul pertanyaan tentang beda dengan figur yang biasa kita lihat, orang yang lahir ditengah keluarga 'berada', biasanya diikuti dengan fasilitas yang memadai. Tapi ini, Tuhan yang memiliki segala sesuatu, kenapa harus lahir dengan segala keterbatasan, kesannya Allah yang mengutus tidak memfasilitasi. Itu karena Allah mau menyatakan bahwa segala fasilitas itu bukan segala-galanya, bukan standard yang harus dikejar. Tapi kebenaran dan kehendakNya lah yang perlu menjadi tujuan utama diatas segala-galanya.


sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Ku-perbuat kepadamu.
Yoh 13:15

Friday, April 15, 2016

Bagaimana Supaya Tidak Sombong?

by Glory Ekasari

Apakah pembaca merasa diri sombong? Apakah pembaca berharap bisa lebih rendah hati? Bagaimana caranya? Apakah ada tips dan triknya?

Mungkin pembaca berkata, “Engga kok, saya ga suka nyombong.” Eits. Itu barusan nyombong bahwa dirinya ga suka nyombong.

Sayang sekali, di Alkitab tidak ada petunjuk “langkah-langkah agar tidak sombong”.

Tuesday, April 12, 2016

Aku Sombong

by Stephanie Gunawan


Pergumulan saya yang terbesar sejak dulu adalah: KESOMBONGAN. Serius!! Ni dosa yang paling sering saya lakukan. :( Saya sadar kalo saya sombong ketika membaca sebuah artikel bahwa rasa minder sebenarnya adalah bentuk lain dari rasa sombong. Saya tuh dulu minder banget. Terutama soal musik!

1. Ketika saya melayani sebagai pengiring ibadah, saya takut dibilang mainnya jelek oleh pianis2 yang sudah senior. Saya takut dihakimi oleh mereka. Kenapa? Karena sebenernya saya hobi menghakimi mereka! Kalo bukan giliran saya yang pelayanan, pasti saya menghakimi para pemusik dari bangku jemaat. "Oh ini mainnya bagus.. itu mainnya jelek.." -->contoh buruk, jangan ditiru.. Lagi kebaktian bukannya konsen muji Tuhan, malah nge-judge orang..
2. Ketika bikin aransemen untuk ensemble, saya takut filler-nya jelek. Pilihan chordnya kurang aneh-aneh. Memadukan instrumennya kurang oke. Rhythm-nya kurang nyolong2. Pokoknya kalah deh sama arranger2 laiiinn!!!

Artikelnya menjelaskan: Orang yang minder sebenernya adalah orang yang merasa gagal menunjukkan kesombongannya. Wah! Saya tersentak! Bener sih.. Saya sebenernya pengen pamer bahwa saya yang paling bagus main pianonya, saya yang paling bagus bikin aransemennya. Tapi karena gak bisa, saya jadi minder. :(

Intinya, saya sebenernya sombong! Apa yang Alkitab bilang?

Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.

Yakobus 4:6, 1 Petrus 5:5.

Orang congkak ditentang Allah!!! Mulai ngomong ma diri sendiri: "Fani, mau ditentang Allah?? Mau idup lo nyungsep senyungsep-nyungsepnya?? Gak ada Allah, lo jalan sendiri lho! Bikin keputusan semua sendiri!! Siap-siap aja idup lo berantakan! Mau??" Menjawab diri sendiri: "Ngga mauuuuuu!!!!!! Gak mau ditentang Allah, gak mau bikin keputusan sendiri. Udah pernah begitu, dan hasilnya kacau bangeeettt!!! Iya deehhh, aku mau belajar gak congkak lagiii... Tuhan Yesus, ajariiiinnn....."

Akhirnya kemaren saya diajarin. Cihuy! Lum berhasil praktekinnya sih, ini baru teorinya. Tapi, saya senang Tuhan bukain tentang hal ini.

Kemarin ada Seri Pentakosta di gereja. Pembicaranya Ibu Novi Sine S. Th. Dia mengambil ayat yang sudah sangat saya kenal. Kedua ayat ini biasanya sangat terkenal kalo dibawa dalam topik relationship. Tapi, saya gak nyangka sebenarnya dua ayat ini berbicara tentang hal lain, yaitu pencegahan kesombongan.

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Kejadian 1: 27

Saya membahas di tulisan saya Tubuh dan Emosi Wanita tentang bagaimana perempuan membawa citra Allah dalam dirinya. Saya juga membahas bahwa pria membawa citra Allah di dalam dirinya di Pria Penyelamat. Intinya, kita semua membawa gambar Allah. Di tulisan Tubuh dan Emosi Wanita itu saya menulis:
"Setiap pria yang menyentuh kita (wanita), berarti menyentuh yang kekal! Yang kekal = Allah sendiri!!" Kalimat itu bisa dibalik juga. Setiap wanita yang menyentuh pria, berarti menyentuh yang kekal! Yang kekal = Allah sendiri!! Kalau pria tidak boleh menyakiti wanita, berarti wanita juga tidak boleh menyakiti pria. Kalau pria gak boleh menganggap wanita sebagai 'golongan kelas dua', wanita juga gak boleh menganggap pria sebagai 'golongan kelas dua'. Dua-duanya tidak pantas diperlakukan dengan kasar dan hina, baik secara fisik maupun verbal.

TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Kejadian 2: 18

Perhatikan kata 'penolong'. Kalau kita hanya membaca sampai kata 'penolong' itu saja, kita bisa terjebak dalam pemikiran seperti ini:
1. Yang cewe mikir: Kita kan penolong, berarti cowo yang ditolong. Di mana-mana yang ditolong itu lebih payah/bodoh dibanding yang nolongin. Jadi, cewe-cewe itu lebih hebat/pintar dibanding kaum cowo.
2. Yang cowo mikir: Dia kan penolong, berarti emang tugasnya gw suruh-suruh mulu. Wajar kalau gw memerintah dia terus-menerus. Cowo kan lebih berkuasa daripada cewe.

See? Ngawur kan? Kita gak bisa melihat kata 'penolong' dalam sebuah hierarki. Syukurlah Allah gak berhenti sampai situ aja. Allah terusin: yang sepadan dengan dia. Allah menginginkan sebuah 'hubungan saling', yaitu 'hubungan saling menolong'. Allah menegaskan bahwa hubungan kita dengan sesama adalah setara. Kita semua sepadan. Kita semua kebagian kok membawa citra Allah yang mulia. Tidak ada satu yang posisinya lebih tinggi, satu lebih rendah.

Jadi, bagaimana saya bisa menyombongkan diri lagi? Atau minder lagi? Masing-masing individu adalah karya ciptaanNya yang paling spesial, His highest creation. Kalau saya underestimate seseorang, itu artinya saya meng-underestimate Allah.

Ibu Novi menutup dengan menceritakan sebuah game. Coba kita berdiri berhadap-hadapan dengan seseorang. Lihat mata orang tersebut di bagian hitamnya, di selaput pelanginya. Apa yang kita lihat? Jawabannya: tentu diri kita sendiri. Menarik kan? Jadi makna game-nya: Di dalam saya ada dia, di dalam dia ada saya. :)

Kesimpulan:
Supaya kita gak mudah terjebak dalam hierarki (merasa lebih hebat [sombong] atau lebih payah [minder] dari orang lain), marilah kita ingat bahwa setiap manusia diciptakan dengan membawa gambar Allah dalam dirinya. Allah menganggap kita setara, mengapa kita yang membeda-bedakan? Siapakah kita sehingga berani membeda-bedakan?

Mengenai saya, sekarang perasaan minder di musik masih ada, tapi gak separah dulu. Ketika beribadah, saya belajar untuk lebih menikmati kata-kata pujian dibanding pilihan chord yang diambil. Saya bikin aransemen (walaupun udah jarang) dengan pengetahuan yang sudah saya punya, gak maksa mesti bikin aransemen yang susah dan keren seperti arranger lainnya. Saya berusaha menempatkan diri saya setara dengan orang lain, tidak lebih hebat atau lebih payah. Tentu ini bukan artinya saya puas dengan pengetahuan saya sekarang. Saya masih pengen belajar dan mengembangkan terus kok. :) Tapi sekarang, stop sombong ataupun minder!

Teman2, seringkali dosa sombong itu gak kelihatan. Mungkin di mulut saya gak menghina, tapi hati saya seringkali meremehkan orang lain tanpa saya sadari. :( Jadi, mohon dukungan dan tegurannya yah kalo saya sombong. Walaupun kadang saya gak berbicara, mungkin tatapan mata dan lekukan bibir saya menyiratkan kesombongan. Body language juga bisa menunjukkan isi hati bukan? Kalo ada yang melihat saya seperti itu, mohon tegurannya ya! :) 

Friday, April 8, 2016

Hal yang Tuhan benci : kesombongan

by Felisia Devi

Apa itu kesombongan?

Saya coba mencopy pendapat dari Wikipedia

Arti kesombongan

Santo Thomas Aquinas berpendapat bahwa kesombongan adalah suatu perasaan dimana manusia menilai dirinya lebih dari kenyataannya; kehendaknya sudah berlawanan dengan nalar dengan mengharapkan sesuatu yang tidak wajar, sehingga kesombongan merupakan dosa.[6] Dengan bahasa yang lugas dan berbeda, Santo Yohanes Maria Vianney menggambarkan orang yang sombong sebagai orang yang haus pujian, orang yang menunjukkan kerendahan hati palsu. Menurutnya, seseorang yang sombong selalu memperolok dirinya sendiri dengan tujuan agar orang lain semakin memujinya. Semakin seseorang yang sombong merendahkan dirinya, semakin banyak ia mengharapkan puji-pujian atas kesia-siaannya yang menyedihkan itu. Orang yang sombong memenuhikhayalannya dengan segala yang telah dikatakan orang untuk memuji dirinya sendiri, dan dengan segala daya upaya berusaha untuk memperoleh lebih banyak pujian lagi karena ia tidak pernah puas dengan pujian.[7]

Saya sendiri sebagai orang yang pernah atau seringkali 'sombong' menyimpulkan sombong berarti... fokusnya diri sendiri (pujian /bangga pada dirinya), punya pandangan /standard sendiri, punya keinginan sendiri dan selalu mempertahankannya.
Bisa sampai merasa lebih tau, lebih ngerti, lebih hebat, lebih pinter, pokoknya lebih dari Tuhan dan mungkin ini ujungnya bisa sampai merasa gak butuh Tuhan atau melawan kehendak Allah

Dari dulu hal yang Tuhan paling sebelin itu kesombongan.
Lucifer dibuang ke bumi karena kesombongannya. (Yes 14:12-14) No wonder bawaan dosa kita udah pasti ada urusan sama kesombongan, cuma mungkin kadar dan bentuknya aja beda2. ;D
Bangsa Israel Tuhan puter-puterin dipadang gurun 40tahun untuk merendahkan hati mereka (Ul 8:2-3)
Yakub diproses bertahun-tahun oleh Tuhan sampai akhirnya ia kalah saat 'bergulat', supaya Yakub menyadari kedaulatan dan kuasa Tuhan, sebagai persiapan bangsa perjanjian Israel. (Kej 32:25)
Orang farisi dan ahli taurat Tuhan kecam karena kesombongan hati mereka yang banyak tau, sampai tidak menyadari bahwa Yesus sendiri sebenarnya dari penggenapan yang mereka tau.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang berhubungan sama hati yang sombong.


Yesaya 2:11
Manusia yang sombong akan direndahkan, dan orang yang angkuh akan ditundukkan, dan hanya Tuhan sajalah yang maha tinggi pada hari itu.

Yakobus 4:6b
Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.

Amsal 16:18
Kecongkakkan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kehancuran


Ngeri yaa akibat dari kesombongan dan Tuhan benar-benar serius untuk mengikis kesombongan kita semua. Mari kita terus biarkan Tuhan bekerja mengubah hati kita dari kesombongan yang bisa menghancurkan hidup kita.


Monday, April 4, 2016

Siapa yang Lebih Kaya?

by Glory Ekasari

“Hark, now strikes on my ear the trampling of swift-footed coursers!”

Bersama dengan kutipan dari epos Iliad karya Homerus itu, berakhirlah nyawa kaisar Nero di ujung belati yang menusuk lehernya. Ia membunuh dirinya sendiri, karena begitu takut akan dipukuli sampai mati oleh orang-orang yang mengejarnya. Ia yang selalu berusaha menyingkirkan orang-orang yang ingin menggulingkan kekuasaannya, akhirnya dinyatakan sebagai musuh publik oleh jenderal Galba, yang menggulingkannya dari posisi kekaisaran.

Nero menjadi kaisar di tahun 54 M pada usia 17 tahun, menggantikan kaisar Claudius. Ibunya, Agrippina, adalah orang yang berjasa menaikkannya ke takhta. Namun kemudian Nero merasa Agrippina terlalu ikut campur dalam urusannya; bahkan Agrippina beberapa kali melakukan usaha untuk menggulingkan Nero dari takhta, sehingga kaisar itu akhirnya “terpaksa” membunuh ibunya tersebut. Ketakutan Nero akan kudeta begitu luar biasa, ia membunuh saudara tirinya yang masih remaja, Britannicus, yang dianggapnya sebagai ancaman atas takhtanya. Tahun silih berganti dan Nero semakin paranoid; semakin banyaklah orang yang ia bunuh dengan niat mempertahankan kekuasaan.

Akhirnya toh ia harus menghadapi kenyataan juga. Semakin ia berusaha melenyapkan orang-orang yang hendak merebut takhta, semakin banyak yang memusuhinya. Nero menemui ajalnya pada tahun 68 M. Ironis sekali: orang yang berada di puncak dunia – kekaisaran Romawi yang ditakuti semua orang di dunia, namun tidak menikmati apa yang ia miliki dan selalu ketakutan dalam hidupnya. Ketakutan itu sungguh terjadi, dan ia memilih mengakhiri hidupnya sendiri dalam keputusasaan.
Sebelum kematian Nero, sebuah naskah yang kelak menjadi sejarah, ditulis oleh seseorang yang hidup sezaman dengan kaisar itu.
“Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan, dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik; aku telah mencapai garis akhir; aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hariNya.”
Siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas?
Seorang tahanan yang mendekam dalam penjara rumah di kota yang sama dengan tempat tinggal kaisar Nero, kota Roma. Ia dihukum mati pada masa pemerintahan Nero, dan Nero bahkan tidak mengenalnya. Dia seorang Yahudi yang dibenci oleh orang-orang sebangsanya karena keyakinannya.

Namanya Paulus. Kita tidak memiliki satupun naskah tulisan Nero pada saat ini, namun tulisan Paulus adalah bagian dari sebuah buku yang paling banyak dicetak di seluruh dunia. Paulus menulis tiga belas surat dalam Alkitab Perjanjian Baru – paling tidak enam di antaranya ditulisnya dari dalam penjara. Kutipan di atas adalah bagian dari suratnya kepada Timotius, anak didiknya yang berada di kota Efesus.

Di sinilah ironinya. Paulus adalah seorang tahanan. Harta kekayaannya hanyalah uang receh dibandingkan kaisar. Kaisar bisa memiliki segala materi yang ia mau, bisa makan apapun yang ia mau, pergi ke manapun yang ia mau, menikmati kesenangan apapun yang ia mau; sedangkan Paulus bahkan tidak diizinkan keluar dari tahanan. Namun dari kata-kata mereka, kita melihat sebuah kontras. Kontras yang terlalu menyedihkan. Kaisar Nero, dalam seluruh kekayaannya, adalah manusia yang sangat miskin; ia tidak memiliki damai, sukacita dan ketenangan hati sampai hari kematiannya. Paulus, dalam segala keterbatasannya sebagai tahanan, adalah orang yang sangat kaya dibandingkan kaisar! Ia begitu tenang menghadapi kematian, bahkan ia berkata bahwa setelah mati ia malah akan menerima mahkota dari Tuhan.
Perhatikanlah apa yang ditulis Paulus dalam surat-suratnya – yang ditulisnya dari dalam penjara. Kutipan berikut ini diambil dari suratnya pada jemaat di Filipi.
“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!”
“Bagiku, hidup adalah Kristus – dan mati adalah keuntungan.”
Kemudian tulisan berikut ini terdapat dalam suratnya kepada jemaat di Efesus.
“Aku berdoa supaya kamu.. dapat memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan.”
Terakhir, dari suratnya pada orang-orang Kristen di kota Kolose.
“Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus untuk tubuhNya, yaitu jemaat.”
Ada apa dengan orang ini? Bagaimana mungkin, dari dalam penjara, dalam segala kekurangannya, dalam keadaan yang menyedihkan, ia menulis kata-kata yang demikian menghibur dan optimis? Jawabannya akan menjadi jelas bila kita mengenal siapa Paulus. Kehidupan Paulus direkam dalam kitab Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Lukas dan merupakan bagian dari Alkitab Perjanjian Baru. Singkatnya, Paulus menyatakan tentang dirinya sendiri:

“Paulus, hamba Kristus Yesus yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.”

Itulah identitasnya. Paulus menyerahkan hidupnya untuk melayani Yesus Kristus. Dan sepanjang surat-suratnya, kita akan menemukan seseorang yang tidak kuatir bila orang lain mengambil alih kedudukannya; tidak ambil pusing bila orang berbuat jahat terhadap dia; tetap meneruskan misinya sekalipun kesulitan menghadang; dan menyambut kematian dengan sukacita. Orang ini begitu miskin dan menderita, namun ia begitu kaya dan bahagia. Di dalam penjara, kekayaannya jauh melebihi kaisar yang menguasai sepertiga wilayah dunia. Mengapa bisa demikian? Paulus memiliki apa yang tidak dimiliki oleh Nero: Kristus Yesus. Ia menulis kepada jemaat di Efesus – sebuah kalimat yang menunjukkan betapa kayanya ia di dalam Yesus Kristus:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang, di dalam Kristus, telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.”